Urotonika


Uterotonika

Devinisi
Dewasa ini ilmu keperawatan/kebidanan sangat berkembang pesat, seiring dengan itu kualitas pelayanan kepada ibu hamil, persalinan dan nifas juga sangat membanggakan. Kehidupan janin didalam rahim pun menjadi kajian yang berkembang pesat dimana janin sudah dijadikan sebagai pasien/ klien tersendiri yang sangat menentukan apakah janin tetap dipertahankan dalam kehidupan dalam rahim ataukah harus hidup diluar rahim yang berarti harus dilahirkan. Apabila janin diputuskan harus dilahirkan maka kita akan dihadapkan pada masalah induksi persalinan dimana saat ini pemakaian oksitosin sebagai induksi persalinan sangat banyak digunakan.
Perdarahan pasca persalinan masih menjadi momok sebagai salah satu penyebab kematian ibu terutama dinegara berkembang seperti negara kita Indonesia. Berbagai kebijakan telah dicanangkan antara lain Gerakan Sayang Ibu maupun Making Pregnancy Saver yang salah satu pesan kuncinya adalah penanganan masalah kegawat daruratan kebidanan dimana salah satu focus gerakannya adalah pencegahan dan penanganan perdarahan pasca persalianan. Untuk pencegahan perdarahan pasca persalinan saat ini setiap petugas kesehatan dituntut harus melaksanankan asuhan persalinan normal dengan salah satu terobosan adalah penatalaksanaan aktif kala tiga dimana penggunaan uterotonika secara tepat guna harus diterapkan.
Baik dalam hal induksi persalinan, maupun masalah pencegahan dan penanganan perdaran pasca persalinan sangat berkaitan dengan penggunaan oksitosin. Setiap petugas kesehatan yang menangani masalah ini dituntut mempunyai pengetahuan memadai tentang uterotonika, baik tentang cara kerjanya, cara pemberianya maupun tentang efek yang tidak diinginkan.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, obat merupan salah satu penunjang sarana kesehatan. Segala macam penyakit tidak dapat lepas begitu saja tanpa keberadaan obat. Dengan penggunaan obat kita harus mengikuti aturan – aturan tertentu karena obat dalam penggunaan yang digunakan dalam jumlah yang berlebihan dapat meracuni sedangkan racun yang digunakan dalam jumlah sedikit justru dapat menjadi obat bagi tubuh kita.. Salah satu dari obat yang sudah sering dipergunakan adalah uterotonik dan anti perdarahan. Obat – obat uterotonika dan anti perdarahan tidak pernah lepas dari segala masalah kesehatan yan berhubungan dengan kehamilan dan persalinan.Masalah kehamilan dan persalinan merupakan masalah yang riskan karena sangat erat dengan keselamatan jiwa seseoramg sehingga ironis sekali apabila terjadi kesalahan walau hanya sedikit saja. Hal – hal yang perlu diketahui adalah mengenai nama obat, tujuan penggunaan, mekanisme kerja, indikasi, kontra indikasi, efek samping, cara pemakaian serta dosis yang digunakan.
Uterotonika Adalah Zat Yanag Digunakan Untuk meningkatkan kontraksi uterus. Uterotonik banyak digunakan untuk induksi, penguatan persalinan, pencegahan serta penanganan perdarahan post partum, penegndapan perdarahan akibat abortus inkompletikus dan penanganan aktif pada Kala III persalinan. Oksitosik atau uterotonika adalah obat yang merangsang kontraksi uterus, langkah-langkah atau tahap mekanisme kerja oksitosik tersebut adalah sebagai berikut:
Respon terhadap uterus bertingkat → mulai kontraksi uterus , ritmis sampai tetani
Anatomi Fisiologi Uterus
Þ    Uterus disarafi oleh: saraf kolinergik dari saraf pelvik dan saraf adrenegik dari ganglion hipogastrik
Þ    Respon uterus berbeda tergantung: spesies, pubertas (makin dewasa makin nyata), hamil (makin aterm makin nyata)
Þ    Mineral yang berpengaruh adalah: Na dan Ca
  

Indikasi obat uterotonika adalah untuk:
a.       Induksi partus aterm
10 unit oksitosin dilarutkan dalam satu liter dekstrosa 5%=10 ml unit/ml diberikan melalui infus dengan kecepatan 0,2 ml/mnt
Jika tidak ada respon selama 15 menit, kecepatan dinaikkan sampai 2 ml/ mnt
b.      Mengontrol PPP
Penggunaan oksitosin sudah tidak dianjurkan lagi
Penggunaan ergonovine atau metilergonovine lebih disukai karena toksisitasnya rendah, durasi lama, dosis 0,2 – 0,3 mg IM/ 0,2 IV
Pilihan lain PGF2α 250 µg IM
c.       Abortus terapeutik
abortus terapeutik pada kehamilan trimester I dilakukan dengan section curretage
pada trimester II dilakukan dengan penyuntikan Nacl hipertonik 20 % ke dalam amnion
prostaglandin cukup efektif untuk menimbulkan abortus pada trimester ke II
Pemberian PGE2 20 mg dalam bentuk vaginal supositoria memberikan hasil yang efektif
d.       Uji oksitosin (challenge test)
digunakan untuk menentukan ada tidaknya insufisiensi utero plasenta
dilakukan terutama pada kehamilan yang beresiko tinggi misalnya, DM, preeklamsia dilakukan pada minggu terakhir sebelum pesalinan
oksitosin diberikan perinfus dengan kecepatan 0.5 ml U/ mnt kemudian ditingkatkan sampai terjadi kontraksi uterus tiap 3 – 4 mnt.
e.       Menghilangkan pembengkakan payudara
pada gangguan ejeksi susu oksitosin diberikan intra nasal 2 – 3 menit sebelum anaknya menyusui.

  Klasifikasi Uterotonika

Menurut Siti Aisyah (2003). Klasifikasi Varisela dibagi menjadi 2 :

·         Varisela congenital
Varisela congenital adalah sindrom yang terdiri atas parut sikatrisial, atrofi ekstremitas, serta kelainan mata dan susunan syaraf pusat. Sering terjadi ensefalitis sehingga menyebabkan kerusakan neuropatiki. Risiko terjadinya varisela congenital sangat rendah (2,2%), walaupun pada kehamilan trimester pertama ibu menderita varisela. Varisela pada kehamilan paruh kedua jarang sekali menyebabkan kematian bayi pada saat lahir. Sulit untuk mendiagnosis infeksi varisela intrauterin. Tidak diketahui apakah pengobatan dengan antivirus pada ibu dapat mencegah kelainan fetus.

·         Varisela neonatal
Varisela neonatal terjadi bila terjadi varisela maternal antara 5 hari sebelum sampai 2 hari sesudah kelahiran. Kurang lebih 20% bayi yang terpajan akan menderita varisela neonatal. Sebelum penggunaan varicella-zoster immune globulin (VZIG), kematian varisela neonatal sekitar 30%. Namun neonatus dengan lesi pada saat lahir atau dalam 5 hari pertama sejak lahir jarang menderita varisela berat karena mendapat antibody dari ibunya. Neonatus dapat pula tertular dari anggota keluarga lainnya selain ibunya. Neonatus yang lahir dalam masa risiko tinggi harus diberikan profilaksis VZIG pada saat lahir atau saat awitan infeksi maternal bila timbul dalam 2 hari setelah lahir. Varisela neonatal biasanya timbul dalam 5-10 hari walaupun telah diberikan VZIG. Bila terjadi varisela progresif (ensefalitis, pneumonia, varisela, hepatitis, diatesis pendarahan) harus diobati dengan asiklovir intravena. Bayi yang terpajan dengan varisela maternal dalam 2 bulan sejak lahir harus diawasi. Tidak ada indikasi klinis untuk memberikan antivirus pada varisela neonatal atau asiklovir profilaksis bila terpajan varisela maternal.
a.       Metrgin
b.      Oksitosin
c.       Prostaglandin

Sistesis Uterotonika
 
Virus varisela-zoster masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran nafas atau orofaring. Multiplikasi virus ditempat tersebut diikuti oleh penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer). Virus dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Selama masa inkubasi virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh yang terinfeksi, replikasi virus dapat mengalahkan pertahanan tubuh yang belum berkembang, sehingga 2 minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak. Viremia tersebut menyebabkan demam dan malese anorexia serta menyebarkan virus ke seluruh tubuh, terutama ke kulit dan mukosa.
Respons imun pasien yang kemudian berkembang akan menghentikan viremia dan menghambat berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Terjadinya komplikasi varisela (pneumonia dan lain-lain) mencerminkan gagalnya respons imun tersebut menghentikan replikasi serta penyebaran virus dan berlanjutnya infeksi. Keadaan ini terutama terjadi pada pasien imunokompromais. Dalam 2-5 hari setelah gejala klinis varisela terlihat, antibody (IgG, IgM, IgA) spesifik terhadap VVZ dapat dideteksi dan mencapai titer tertinggi pada minggu kedua atau ketiga. Setelah itu titer IgG menurun perlahan, sedangkan IgM dan IgA menurun lebih cepat dan tidak terdeteksi satu tahun setelah infeksi. Imunitas selular terhadap VVZ juga berkembang selama infeksi dan menetap selama bertahun-tahun. Pada pasien imunokompeten imunitas humoral terhadap VVZ berfungsi protektif terhadap varisela, sehingga pajanan ulang tidak menyebabkan infeksi (kekebalan seumur hidup). Imunitas selular lebih penting daripada imunitas humoral untuk penyembuhan varisela. Pada pasien imunokompromais, oleh karena imunitas humoral dan selularnya terganggu, pajanan ulang dapat menyebabkan rekurensi dan varisela menjadi lebih berat dan berlangsung lebih lama.



Efek Farmakologis Uterotonika

·         Spasme uterus ( pada dosis rendah )
·         Hiper stimulasi uterus 9 membahayan janin : kerusakan jaringan lunak /uterus )Keracunan cairan dan hiporatremia ( pada dosis besar)
·         Mual,muntah, aritmia, anafilaksis, ruam kulit, aplasia plasenta, emboli amnion.
·         Kontraksipembuluh darah tali pusat
·         Kerja antidiuretik
·         Reaksi hipersensitifitas
·         Reaksi anafilaktik
·         Hiper stimulasi uterus yang membahayakan janin : kerusakan jaringan lunak / rupture uterus
·         Keracunan cairan dan hiporatremia ( pada dosis besar )
·         Mual, muntah,ruam kulit, aplasia plasenta, emboli amnion.
·         Kontraksi pembuluh darah tali pusat
·         Aritmia jantung
·         Hematoma panggul

Penggunaan klinik  uterotonika

Menurut Richar E. 1992, gambaran klinik varisela dibagi menjadi 2 stadium :

1.      Stadium prodromal: 24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala panas, perasaan lemah (malaise), anoreksia. Kadang-kadang terdapa kelainan scarlatinaform atau morbiliform.

2. Stadium erupsi: Dimulai dengan terjadinya papula merah, kecil yang berubah    menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai dasar eritematous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan cekungan di tengah (unumbilicated). Isi versikel berubah menjadi keruh dalam waktu 24 jam. Biasanya vesikel menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh. Dalam 3-4 hari erupsi tersebar; mula-mula di dada lalu ke muka, bahu dan anggota gerak. Erupsi ini disertai perasaan gatal.
Pada suatu saat terdapat macam-macam stadium erupsi, ini merupakan tanda khas penyakit verisela. Vesikel tidak hanya terdapat di kulit, melainkan juga di selaput lendir mulut. Bila terdapat infeksi sekunder, maka akan terjadi limfadenopatia umum.Karena kemungkinan mendapat varisela selama masa kanak-kanak sangat besar, maka varisela jarang ditemukan pada wanita hamil (0,7 tiap 1.000 kehamilan). Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat verisela ketika hamil akan menderita kelainan bawaan berupa bekas luka di kulit (cutaneous scars), berat badan lahir rendah, hipoplasia tungkai, kelumpuhan dan atrofi tungkai, kenang, retardasi mental, koriorenitis, atrofi kortikal, katarak atau kelainan pada mata lainnya. Angka kematian tinggi, bila seorang wanita hamil mendapat varisela dalam 21 hari sebelum ia melahirkan, maka 25% dari neonatus yang dilahirkan akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur 5 hai. Biasanya varisela yang timbul berlangsung ringan dan tidak mengakibatkan kematian. Sedangkan bila seorang wanita hamil mendapat varisela dalam waktu 4-5 hari sebelum melahirkan, maka neonatusnya akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada umur 5-10 hari. Di sini perjalanan penyakit varisela sering berat dan menyebabkan kematian sebesar 25-30%. Mungkin ini ada hubungannya dengan kurun waktu fetus berkontak dengan varisela dan dialirkannya antibody itu melalui plasenta kepada fetus.
Seorang neonatus jarang mendapat varisela di bangsal perinatologi dari seorang perawat atau petugas bangsal lainnya, tapi bila ini terjadi maka perjalanan penyakit amat ringan dan terlihat gejala-gejala seperti pada anak yang besar.