OBAT
ANTIHISTAMIN
Pengertian
Antihistamin
adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap
tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan). Pada
awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya
jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara
farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1
da reseptor-H2.
Berdasarkan
penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni
antagonis reseptor-H1 (singkatnya disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan
antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam
1.
H1-blockers (antihistaminika klasik)
Mengantagonir
histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding
pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan
efek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya
adalah simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi
alergi
Dahulu
antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan
penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat
generasi ke-1 dan ke-2.
a. Obat
generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin, (klor) feniramin,
difenhidramin, klemastin (Tavegil), siproheptadin (periactin), azelastin
(Allergodil), sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen), dan
oksatomida (Tinset). Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan
kebanyakan memiliki efek antikolinergis
b. Obat
generasi ke-2: astemizol, terfenadin, dan fexofenadin, akrivastin (Semprex),
setirizin, loratidin, levokabastin (Livocab) dan emedastin (Emadin). Zat- zat
ini bersifat khasiat antihistamin hidrofil dan sukar mencapai CCS (Cairan
Cerebrospinal), maka pada dosis terapeutis tidak bekerja sedative. Keuntungan
lainnya adalah plasma t⅟2-nya yang lebih
panjang, sehingga dosisnya cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti-alerginya
selain berdasarkan, juga berkat dayanya menghambat sintesis mediator-radang,
seperti prostaglandin, leukotrin dan kinin.
2.
H2-blockers (Penghambat asma)
Obat-obat ini menghambat secara efektif
sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan
terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam
klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini
banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna mengurangi sekresi HCl dan
pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida.
Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas lambung
(cisaprida) pada penderita reflux.
Penghambat
asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine, famotidin,
nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari
histamin.
Indikasi penggunaan anti Histamine
Antihistamin
H1 yang lebih spesifik memperbaiki modalitas terapi.
Antihistamin H1 merupakan salah satu obat
terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat
perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal
yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1.
Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1.
Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular,
antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist
ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila
terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek
berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa
bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan
bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada
sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis
sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
Penemuan modus operandi antihistamin H1 yang
lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian obat secara
tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi serta pengelompokkan
antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan
struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin,
piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang
bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin
kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang
ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang
signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek
antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang
selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar
dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih
kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi
otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi
kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan
enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk
memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek
samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia
jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian
juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik
dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1
beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang
belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan
reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular,
pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak
ayal secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan
sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea,
pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal
congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga
memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada
reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek
samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki
kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin
generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan
menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau
menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat
reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan
menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga
juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro
desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan,
desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti
menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel
epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan
imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa
desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada
beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak
ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu
dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
Nasib
Antihistamin H1 dalam Tubuh
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa
diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2
jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar
antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function
oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian
dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin
memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2
jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya,
seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya,
N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah
yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis
meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa
antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada
orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima ketokonazol,
eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya.
Indikasi
Antihistamin
generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi
tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis
vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa
digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan
prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin
digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion
sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah
anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai
anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan
postoperative atau obstetric sedation.
Table
1. Indikasi Generasi Pertama yang Diakui FDA
|
||||||
Drug
Name
|
Batas
Usia
|
Indikasi
|
Kategori
Kehamilan
|
|||
Azatadine
|
> 12 tahun
|
PAR,
SAR, CU
|
B
|
|||
Azelastine
|
> 3 tahun
|
PAR,
SAR, VR, AC
|
C
|
|||
Brompheniramine
|
>
6 tahun
|
AR,
HR Type 1
|
C
|
|||
Chlorpheniramine
|
>
2 tahun
|
AR
|
B
|
|||
Clemastine
|
>
6 tahun
|
PAR,
SAR, CU
|
B
|
|||
Cyproheptadine
|
> 2 tahun
|
PAR,
SAR, CU
|
B
|
|||
Dexchlorpheniramine
|
> 2 tahun
|
PAR,
SAR, CU
|
B
|
|||
Hydroxyzine
|
Bisa
diberikan < 6 tahun
|
Pruritus,
sedasi, analgesia, anti-emetik
|
C
|
|||
Promethazine
|
>
2 years old
|
HR
Type 1, Sedation, Motion sickness, Analgesia
|
C
|
|||
Tripelennamine
|
>
1 bulan
|
PAR,
SAR, CU
|
B
|
|||
*PAR
= perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CU = chronic
urticaria, HR Type 1 = hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic
rhinitis, VMR = vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis
|
||||||
Table
2. Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA
|
||||||
Nama
Obat
|
Batas
Usia
|
Indikasi
|
Kategori
Kehamilan
|
|||
Cetirizine
|
> 2 tahun
|
PAR,
SAR, CIU
|
B
|
|||
Fexofenadine
|
> 6 tahun
|
SAR,
CIU
|
C
|
|||
Loratadine
|
> 2 tahun
|
SAR,
CIU
|
B
|
|||
Desloratadine
|
> 12 tahun
|
PAR,
SAR, CIU
|
C
|
|||
*PAR
= perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU =
chronic idiopathic urticaria
|
||||||
Mekanisme Kerja Anti histamine
Strategi
AM-PM
Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi
gangguan alergi semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik
harus berdasarkan pada harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi,
dan efek samping. Semua antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam
sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga lebih murah. Namun tidak
demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua dan ketiga. Masalah
perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan.
Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan
ketiga secara klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi
karakteristik dari generasi pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness
sangatlah subjektif, hanya dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti
klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan
placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang memperoleh
fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima
diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan
subjek yang menerima alcohol.
The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy,
Asthma, and Immunology
menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari antihistamin
generasi pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun masyarakat. Oleh
karena itu, untuk mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi kronis lainnya
direkomendasikan suatu strategi baru, yakni terapi antihistamin“AM/PM”.
Penderita diberikan antihistamin generasi kedua dan ketiga yang lebih
sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya sebelum pemberian antihistamin
generasi pertama. Jadi, dosis siang hari generasi kedua dan ketiga, sedangkan
dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa mengoptimalkan terapi
dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa
menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah.
Kontra Indikasi penggunaan anti
Histamine
Kontraindikasi
Antihistamin
generasi pertama:
hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi
baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing
peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction,
penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma),
pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan
pasien tua.
Antihistamin
generasi kedua dan ketiga
: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara
struktural.
Efek Samping Anti Histamine
Efek
Samping
Antihistamin
Generasi Pertama :
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2.
Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis
vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
3.
Sistem Saraf Pusat - drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue,
bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4.
Gastrointestinal - epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5.
Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
6.
Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal
spray)
Antihistamin
Generasi Kedua Dan Ketiga):
1.
Alergi
– fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2.
SSP
– mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3.
Respiratori**
- mulut kering
4. Gastrointestinal** - nausea,
vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
*Efek
samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang
tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi
pertama. **Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang
dibanding generasi pertama.